Hoaks thermo gun dan klaim kue klepon haram baru-baru ini menyebar dengan sangat cepat di masyarakat melalui internet dan sosial media. Hal itu tentu bukan masalah sepele. Pasalnya, selama pandemi, hampir seluruh aktivitas masyarakat dialihkan ke berbagai ruang daring yang sangat rentan terhadap informasi hoaks atau informasi palsu.
Dosen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR sekaligus pengamat literasi informasi kritis Dr. Fitri Mutia, A.KS., M.Si. mengatakan, penyebaran berita hoaks saat ini sangat dipengaruhi oleh media elektronik. “Hoaks saat ini menyebar dengan cepat, mudah dan menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Hal ini tentu saja difasilitasi oleh beragamnya media elektronik yang digunakan oleh masyarakat untuk mengakses, menyimpan, menciptakan hingga menyebarluaskan informasi,” paparnya dalam wawancara daring Rabu (22/7/2020).
Menurut dosen yang sering disapa Mutia itu, dampak yang ditimbulkan hoaks sangat berbahaya. Sebab, tidak hanya merugikan perorangan, tapi juga dapat menciptakan keresahan dalam masyarakat hingga mengganggu kestabilan negara.
Ciri-Ciri Informasi Palsu
Lantas, bagaimana cara membedakan informasi hoaks dan fakta?. Mutia memaparkan, setidaknya ada lima ciri informasi hoaks.
Pertama, kata Mutia, umumnya informasi hoaks tidak mencantumkan sumber secara jelas. Sehingga tidak diketahui siapa yang bertanggung jawab atas hal itu.
“Jika seperti ini, kita dapat melakukan cek ulang melalui berbagai sumber. Misalnya dari website resmi yang berkaitan dengan berita yang disebarkan,” tutur dia.
Selain itu, tambahnya, diksi yang digunakan dalam informasi hoaks seringkali menyudutkan pihak tertentu seolah-olah telah melakukan kesalahan. Sedangkan ciri ketiga, informasi hoaks kerap diakhiri dengan kalimat yang ‘memaksa’ pembaca untuk menyebarkan informasi tesebut.
Selanjutnya, jika informasi hoaks disertai dengan gambar atau video, biasanya bagian yang dimaksud tidak tampak jelas. “Sebenarnya ada alat bantu yang dapat kita gunakan, yaitu google image untuk memeriksa gambar tersebut hoaks atau tidak,” jelasnya.
Terakhir, tidak ada informasi pasti mengenai kapan terjadinya informasi itu berlangsung. Sehingga penerima informasi tidak dapat melacak kebenarannya.
Mutia berpesan untuk selalu mengecek kebenaran informasi yang diterima menggunakan berbagai sumber atau pihak yang valid. Selain itu, lanjut dia, masyarakat perlu membekali diri dengan kemampuan literasi informasi kritis untuk memerangi hoaks. “Jangan sampai tanpa sadar kita justru menjadi penyebar hoaks,” ujarnya.
Terakhir, Mutia mengingatkan untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Pasalnya, pembuat atau penyebar hoaks dapat diseret hukum berdasar UU ITE Pasal 28 Ayat 1.
“Meskipun dengan alasan ketidakpahaman atau hanya untuk bersenang-senang, ancaman hukuman telah ditegaskan pemerintah dalam UU ITE. Jadi, masyarakat perlu berhati-hati agar terhindar dari perilaku sebagai pembuat atau penyebar informasi hoaks,” pesan Mutia menutup wawancara. (*)
Source: http://news.unair.ac.id/2020/07/23/begini-cara-bedakan-informasi-palsu-dan-fakta/
Penulis: Erika Eight Novanty
Editor: Feri Fenoria Rifa’i