Polemik Kendaraan Bermotor Listrik dan Upaya Mengurangi Emisi Karbon

Date

Ketika menyampaikan pidato kenegaraannya di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (16/8/2019), Presiden Joko Widodo menyebutkan keinginannya akan industri otomotif dalam negeri untuk memproduksi dan mengekspor kendaraan bermotor listrik. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada 2030.

Dalam mempercepat perkembangan industri kendaraan listrik di tanah air, Perpres tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan resmi diundangkan pada Senin (12/8/2019). Perpres ini mengatur jalannya industri kendaraan bermotor dan komponen kendaraan bermotor.

Perpres ini juga mengatur pemberian insentif pada produsen dan pemilik KBL, contohnya berupa pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah, penangguhan bea masuk dalam rangka ekspor, serta keringanan biaya pengisian listrik di SPLU. Insentif ini diberikan agar banyak orang tertarik untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke KBL.

Disebutkan dalam Perpres, penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil akan dikendalikan secara bertahap berdasarkan peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional.

Kebijakan ini diterima dengan baik oleh PLN. “Dengan listrik ini, nantinya bisa berkurang emisi 17% sampai 20%,” kata Antonius RT Artono selaku Executive Vice President Health, Safety, Security, and Environment PLN di CNBC Indonesia Conference Water Security and Sustainability. Menurutnya, pasokan listrik Jawa-Bali masih berlebih, sehingga yang perlu dilakukan hanyalah menentukan lokasi stasiun pengisian listrik umum (SPLU).

Benarkah penggunaan mobil listrik dapat mengurangi emisi karbon?

Kendaraan bermotor listrik dikenal ramah lingkungan karena menghasilkan emisi CO2 yang lebih rendah daripada kendaraan konvensional. Hal ini disebabkan oleh tenaga listrik yang menggantikan pembakaran minyak fosil, sehingga dapat mengurangi polusi udara.

Berdasarkan data dari BloombergNEF (BNEF), mobil listrik menghasilkan lebih sedikit emisi karbon jika digunakan dalam jangka panjang. Perbedaan besar emisi ini bahkan dapat mencapai 40%.

Namun, penelitian justru menunjukkan bahwa KBL memiliki dampak yang tidak kalah buruk bagi lingkungan.

Hasil riset di Inggris yang dilakukan Engaged Tracking, organisasi analis energi di London menguak bahwa mobil listrik, tepatnya Tesla Model S, memiliki emisi gas buang yang sama. Dari segi produksi pun, kadar emisi karbon yang dihasilkan berjumlah sama dengan emisi mobil berbahan bakar bensin maupun diesel ketika dioperasikan.

Riset lain yang dilakukan di Tiongkok malah menunjukkan hasil yang mengejutkan. Dipaparkan dalam sebuah jurnal dari University of Michigan Transportation Research Institute, kendaraan dengan bahan bakar fosil dengan konsumsi bahan bakar yang kurang dari 14,3 km/liter menghasilkan emisi lebih rendah daripada kendaraan bermotor listrik.

Penelitian lain dari Harvard University dan Tsinghua University di Beijing menunjukkan bahwa produksi mobil berbasis listrik di Tiongkok melepaskan emisi gas rumah kaca yang 50% lebih besar daripada kendaraan konvensional.

Di Hong Kong, penggunaan mobil listrik mengakibatkan peningkatan emisi karbon sebesar hampir 20% dibandingkan dengan mobil konvensional.

Pentingnya Penggunaan Energi Bersih Sebagai Sumber Energi KBL

Energi yang digunakan KBL di Inggris, Tiongkok, dan Hong Kong berasal dari pembangkit listrik yang bahan bakunya kebanyakan berupa batubara dan gas alam. Maka, meningkatnya konsumsi kendaraan listrik juga akan meningkatkan emisi dari pembangkit listrik tersebut.

Naiknya minat masyarakat akan KBL berdampak besar bagi lingkungan. Berdasarkan laporan Bloomberg, konsumsi listrik global dari KBL diprediksi meningkat dari hanya 6 Terawatt Hour (TWh) pada 2016 hingga 1.800 TWh pada 2040. Pemerintah Inggris memperkirakan listrik yang dikonsumsi KBL akan meningkatkan emisi karbon sebesar 510 megaton atau setara 1,6% emisi CO2 global di 2018.

Di Indonesia sendiri, bahan bakar fosil masih menjadi sumber energi listrik utama. 56% pembangkit listrik menggunakan batu bara, 25% menggunakan gas alam, dan 8% menggunakan minyak bumi. 11% sisanya menggunakan energi terbarukan.

Dalam Perpres mengenai KBL disebutkan bahawa pada 2040, komposisi mobil listrik di Indonesia ditargetkan mencapai 50%. Berdasarkan angka tersebut, Alloysius Joko Purwanto, ahli ekonomi energi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia memprediksikan bahwa Indonesia hanya dapat mengurangi total emisi CO2 sebanyak 10%. Asumsi penurunan ini pun baru bisa tercapai jika pemerintah menggunakan energi yang lebih bersih sebagai sumber energi listrik.

Solusi Mengurangi Emisi Karbon

Solusi untuk mengurangi emisi akibat meningkatnya permintaan kendaraan bermotor listrik sangat diperlukan. Apalagi dalam konteks dalam negeri, mengingat insentif yang diatur dalam Perpres tentang KBL bisa dibilang cukup besar.

Penggalakan penggunaan kendaraan bermotor listrik sebaiknya turut diikuti dengan peralihan pembangkit listrik ke sumber energi terbarukan, alih-alih tetap menggunakan bahan bakar fosil. Bukannya ramah lingkungan, konsumsi kendaraan listrik ini justru dapat meningkatkan emisi jika sebagian besar energi listrik dipasok oleh pembangkit listrik bertenaga fosil.

Apabila peralihan sumber energi ini dilakukan oleh banyak negara, tentu saja kendaraan bermotor listrik bisa disebut jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan konvensional. Peneliti memperkirakan rata-rata emisi dapat menurun hingga 90% di Inggris dan lebih dari 30% di Jepang pada 2040.

Penulis: Dida S. N. Hilman

More
articles

id_IDIndonesian