{:id}Mendatangi tempat terpencil menjadi sebuah kesempatan untuk mengenal kondisi sosial masyarakat setempat. Tak terkecuali beberapa mahasiswa asing asal Universitas Airlangga dan University of Malaya. Selama enam hari, mereka harus menginap di rumah warga sekitar Pantai Sine dalam rangka kuliah kerja nyata (KKN).
Panas terik di sekitar Pantai Sine kemarin (7/2) sedikit berkurang. Bukan karena hujan mau turun, tetapi angin laut yang berembus kencang memberi kesejukan sendiri. Kendati demikian, beberapa nelayan memilih untuk berteduh di kerindangan pohon sembari menunggu rekan nelayan lain untuk melaksanakan jaring tarik.
Namun, hal itu tidak mengurangi semangat belasan mahasiswa yang hari itu sedang melaksanakan kegiatan kampus. Di antara mereka yang asli warga negara Indonesia, ada juga yang berasal dari Malaysia, Pakistan, Myanmar, maupun Brunei Darussalam. Mereka pun berkesempatan untuk mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat setempat.
Seperti yang diungkapkan Muhammad Daniel bin Rasyid, mahasiswa asal University of Malaya. Menurut dia, jika dilihat secara seksama, tidak ada perbedaan berarti dengan kondisi cuaca di Malaysia. Dia pun tidak merasa begitu kaget.
“Saya sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini. Namun tetap saja, ini pengalaman pertama,” katanya.
Pemuda asal Selangor ini menambahkan, salah satu yang begitu berkesan di benaknya adalah keramahan warga Sine. Setiap melangkah di jalan desa, selalu disapa warga. Dia pun menganggap seluruh warga memiliki kebiasaan yang sama. “Saya jadi belajar bahasa Jawa,” jelasnya.
Pemuda 22 tahun ini mengakui, sebelum ke Tulungagung, dia sebenarnya sering mendengar beberapa kata dalam bahasa Jawa. Alasannya, di Selangor sana ada kampung Jawa yang selalu menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari. Namun, apa yang dituturkan masyarakat Sine dianggapnya lebih murni. “Siji, loro, telu, dan lain-lain. Ya, sedikit banyak jadi belajar bahasa Jawa di sini,” ujarnya lantas terkekeh.
Mungkin di Tulungagung pula dia mengenal yang namanya ayam geprek yang kondang pedasnya. Tetapi dia hanya berani makan level 1 yang bagi semua orang belum bisa dikatakan pedas. “Kalau cabainya banyak, tak beranilah, takut perut mulas,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan Muhammad Saud, mahasiswa Unair asal Pakistan. Menurut dia, salah satu hal yang berkesan memang berupa pemandangan dan makanan yang disajikan tuan rumah. Bagi dia, Pantai Sine menawarkan pemandangan indah, khususnya adanya sunrise pada pagi dan pepohonan hijau yang memagari Teluk Sine. “Wah, kalau urusan makanan harus berhati-hati. Bukannya tidak enak, tetapi tak terbiasa makan yang pedas-pedas. Apalagi yang namanya lodho memang cukup pedas,” ungkapnya lantas tertawa.
Kendati demikian, pemuda asal Punjab, Pakistan ini mengaku terkesan dengan sikap warga setempat yang ramah-ramah. Bahkan sejak pagi hingga malam, mereka selalu disambut dengan senyuman dan sapaan khas masyarakat desa. “Kalau ada kesempatan, mau saja berkunjung ke sini lagi,” imbuhnya.
Pernyataan yang kurang lebih sama dilontarkan Khun Nay Win Tun, mahasiswa Unair asal Myanmar.
Menurut dia, pemandangan di Sine memang bagus dengan panorama lautnya. Namun untuk makanan, dia juga tidak terbiasa dengan yang pedas. Bahkan saat ditanya apakah tahu yang namanya lodho, seketika dia memperagakan ekspresi perut mulas. “Saya tahu lodho ayam kampung, tapi tak berani makan banyak,” ujarnya. (*/ed/din)
Sumber: Radar Tulungagung{:}{:en}Visiting an isolated area became an opportunity to get to know the local community’s social condition. This is not an exception for foreign students from Universitas Airlangga and University of Malaya. For six days, they had to stay in the local’s houses near Sine Beach for a community service.
The scorching heat in Sine Beach yesterday (7/2) lessened a little, not because it was going to rain, but because strong sea breeze gave its distinct coolness. In spite of that, some fishermen chose to take shelter under the shades of big trees while waiting for other fishermen to pull their nets.
However, that does not lessen the spirit of tens of university students who were conducting campus activities. Between Indonesian students, there are also Malaysian, Pakistani, Myanmarese, and Bruneian students. They had the opportunity to get a closer look at the local people’s life.
As Muhammad Daniel bin Rasyid, a university student from the University of Malaya, if examined carefully, there is no significant difference between the weather in Malaysia and Tulungagung. He was also not surprised.
“I am used to this kind of weather. But still, this is my first experience,” he said.
The young man from Selangor added, one of the things that is really impressive in his mind is the friendliness of Sine people. Every time he walks on the village street, he is always greeted by the people. He also thinks that all of the people have the same habits. “Because of this, I learn Javanese,” he explained.
The 22 year old man admitted that before going to Tulungagung, he actually often heard some Javanese words. The reason is that there is a Javanese village in Selangor whose inhabitants always use Javanese for daily communication. However, he considers the language used by Sine people to be purer. “Siji, loro, telu, ets. Yes, little by little I learn Javanese here,” he said while chuckling.
Perhaps he also discovered ayam geprek that is famous for its spiciness in Tulungagung. Nevertheless, he only dared to eat the level 1 that is not considered to by spicy by most people. “If it has many chili peppers, I don’t dare eating it. Afraid to have heartburn,” he said.
The similar thing was expressed by Muhammad Saud, an Unair student from Pakistan. According to him, one of the most impressive things is the scenery and food served by the host. to him, Sine Beach offers a beautiful scenery, particularly sunrise in the morning and green trees that fences Sine Bay. “Well, when it comes to food, we should be careful. Not that the food is bad, but I’m not used to eating spicy food, especially lodho. It is quite spicy,” he said and laughed.
Despite of that, the young man from Punjab, Pakistan confessed that he is impressed with the local people’s friendliness. In fact, from the morning until night, they are always welcomed with smile and greetings unique to the local people. “If I have the chance, I will come back,” he added.
A similar statement came from Khun Nay Win Tun, Unair student from Myanmar.
He thinks that the scenery in Sine is great with its sea panorama. But for food, he is also not accustomed to spicy food. In fact, when asked if he knows lodho, he immediately mimed the expression of having a heartburn stomach. “I know Kampong chicken lodho, but I don’t dare eating a lot of it,” he said. (*/ed/din)
Source: Radar Tulungagung{:}